Angklung adalah alat musik multitonal (bernada ganda) yang secara tradisional berkembang dalam masyarakat berbahasa Sunda di Pulau Jawa bagian barat. Alat musik ini dibuat dari bambu, dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Angklung terdaftar sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia dari UNESCO sejak November 2010.
Sejak kapan Angklung muncul belum diketahui secara pasti. Namun telah ditemukan Angklung tertua yang berusia sekitar 400 tahun. Angklung tersebut merupakan Angklung Gubrag yang dibuat di Jasinga, Bogor Jawa Barat. Di Serang, Angklung jenis ini dianggap sebagai alat musik sakral yang digunakan saat mengiringi mantera pengobatan orang sakit atau menolak wabah penyakit.
Angklung memang dikenal berasal dari Jawa Barat. Namun dibeberapa daerah di-Indonesia juga ditemukan alat musik tradisional tersebut. Di-Bali angklung digunakan saat ritual Ngaben. Di-Madura angklung digunakan sebagai pengiring saat adanya arak-arakan. Sementara itu di Kalimantan Selatan angklung digunakan sebagai pengiring pertunjukan Kuda Gepang. Sejarah juga mencatat bahwa di-Kalimantan Barat juga terdapat angklung. Namun menurut beberapa tokoh kebudayaan, angklung tersebut sudah tidak ada lagi.
Pada tahun 1983, Daeng Soetigna menciptakan angklung yang didasarkan pada suara diatonik. Selain sebagai pengiring mantera, awalnya angklung digunakan untuk upacara-upacara tertentu. Contohnya upacara menanam padi. Namun seiring dengan semakin berkembangnya alat musik ini, angklung digunakan dalam pertunjukan kesenian tradisional yang sifatnya menghibur.
Pada masa penjajahan Belanda, angklung menjadi alat musik yang membangkitkan semangat nasionalisme penduduk pribumi. Oleh karena itu Pemerintah Belanda melarang adanya permainan angklung. Namun mereka mengizinkan apabila angklung dimainkan oleh anak-anak dan pengemis karena mereka beranggapan hal tesebut tidak membahayakan dan tidak memberikan pengaruh apapun.
Setelah mengalami pasang surut, Daeng Soetigna berhasil menaikkan derajat alat musik angklung. Bahkan angklung diakui oleh seorang musikus besar asal Australia bernama Igor Hmel Nitsky pada tahun 1955. Angklung dengan suara diatonis yang diciptakan oleh Daeng akhirnya turut diakui oleh Pemerintah dan dijadikan alat pendidikan musik.
Sepeninggal Daeng Soetigna, angklung dikembangkan lagi berdasakan suara musik Sunda, yaitu salendro, pelog dan madenda. Orang berjasa yang berhasil mengembangkannya adalah Udjo Ngalagena. Udjo yang merupakan salah seorang murid Daeng Soetigna ini mengembangkan alat musik angklung pada tahun 1966.
Sebagai wujud mempertahankan kesenian angklung, Udjo atau biasa dikenal sebagai Mang Udjo membangun pusat pembuatan dan pengembangan angklung. Tempat tersebut diberi nama 'Saung Angklung Mang Udjo". Lokasinya berada di Padasuka, Cicaheum, Bandung. Ditempat ini sering kali diadakan pertunjukan kesenian angklung. Pengunjung yang hadir dapat ikut serta mencoba belajar memainkan alat tersebut.
Perlu peran dari Pemerintah baik pusat maupun daerah untuk melestarikan angklung. Tentunya hal itu juga dapat terwujud dengan bantuan peran kita juga sebagai masyarakat. Mari kita mengenal, mempelajari dan melestarikan budaya negara kita Indonesia. Jangan sampai punah atau diklaim negara lain karena kita sendiri yang akan rugi dan menyesal di-kemudian hari,
Tidak ada komentar:
Write komentar