Selasa, 17 Juli 2012

Sumpit (Sipet)


Sumpit adalah salah satu senjata yang sering digunakan oleh suku Dayak. Selain untuk berburu, sumpit menjadi alat perang. Dari segi penggunaannya sumpit atau sipet ini memiliki keunggulan tersendiri karena dapat digunakan sebagai senjata jarak jauh dan tidak merusak alam karena bahan pembuatannya yang alami. Dan salah satu kelebihan dari sumpit atau sipet ini memiliki akurasi tembak yang dapat mencapai 218 yard atau sekitar 200 meter.
Dilihat dari bentuknya sumpit, sumpit memiliki bentuk yang bulat dan memiliki panjang antara 1,5-2 meter, berdiameter sekitar 2-3 sentimeter. Pada ujung sumpit ini diolah sasaran bidik seperti batok kecil seperti wajik yang berukuran 3-5 sentimeter.

Pada bagian tengah dari sumpit dilubangi sebagai tempat masuknyadamek (anak sumpit). Pada bagian bagian atas sumpit lebih tepatnya pada bagian depan sasaran bidik dipasang sebuah tombak atau sangkoh (dalam bahasa Dayak). Sangkoh terbuat dari batu gunung yang lalu diikat dengan anyaman uei (rotan).

Jenis kayu yang biasanya digunakan untuk membuat sumpit pada umumnya adalah kayu tampang, kayu ulin atau tabalien, kayu plepek, dan kayu resak. Tak ketinggalan juga tamiang ataulamiang, yaitu sejenis bambu yang berukuran kecil, beruas panjang, keras, dan mengandung racun. Tidak semua orang memiliki keahlian dalam membuat sumpit atau sipet. Di Pulau Kalimantan saja hanya ada beberapa suku saja yang memiliki keahlian dalam pembuatan sumpit, yaitu suku Dayak Ot Danum, Punan, Apu Kayan, Bahau, Siang, dan suku Dayak Pasir.
Dalam proses pembuatan sumpit atau sipet dilakukan dengan dua cara, yaitu pertama keterampilan tangan dari sang pembuat. Cara kedua, yaitu dengan menggunakan tenaga dari alam dengan memanfaatkan kekuatan arus air riam yang dibuat menjadi semacam kincir penumbuk padi. Harga jual sumpit atau sipet telah ditentukan oleh hukum adat, yaitu sebesar jipen ije atau due halamaung taheta.


Menurut kepercayaan suku Dayak sumpit atau sipet ini tidak boleh digunakan untuk membunuh sesama. Sumpit atau sipet hanya dapat dipergunakan untuk keperluan sehari-hari, seperti berburu. Sipet ini tidak diperkenankan atau pantang diinjak-injak apalagi dipotong dengan parang karena jika hal tersebut dilakukan artinya melanggar hukum adat, yang dapat mengakibatkan pelakunya akan dituntut dalam rapat adat.
Pada zaman penjajahan di Kalimantan dahulu kala, serdadu Belanda bersenjatakan senapan dengan teknologi mutakhir pada masanya, sementara prajurit Dayak umumnya hanya mengandalkan sumpit. Akan tetapi, serdadu Belanda ternyata jauh lebih takut terkena anak sumpit ketimbang prajurit Dayak diterjang peluru. 

Yang membuat pihak penjajah gentar itu adalah anak sumpit yang beracun. Sebelum berangkat ke medan laga, prajurit Dayak mengolesi mata anak sumpit dengan getah pohon ipuh atau pohon iren. Dalam kesenyapan, mereka beraksi melepaskan anak sumpit yang disebut damek.
Tanpa tahu keberadaan lawannya, tiba-tiba saja satu per satu serdadu Belanda terkapar, membuat sisa rekannya yang masih hidup lari terbirit-birit. Kalaupun sempat membalas dengan tembakan, dampak timah panas ternyata jauh tak seimbang dengan dahsyatnya anak sumpit beracun.

Tak sampai lima menit setelah tertancap anak sumpit pada bagian tubuh mana pun, para serdadu Belanda yang awalnya kejang-kajang akan tewas. Bahkan, bisa jadi dalam hitungan detik mereka sudah tak bernyawa. Sementara, jika prajurit Dayak tertembak dan bukan pada bagian yang penting, peluru tinggal dikeluarkan. Setelah dirawat beberapa minggu, mereka pun siap berperang kembali. 

Perjuangan anak negeri Dayak melawan penjajah Belanda ternyata tak kalah heroiknya dengan pejuang yang konon menggunakan bambu runcing untuk memerdekakan negeri Indonesia. Sumpit menjadi salah satu senjata khas yang mampu menjadi bagian sejarah tak terlupakan. Sehingga bisa saja nantinya keterampilan menyumpit akan menjadi olah raga yang populer di wilayah Kalimantan.



20 komentar:
Write komentar