Minggu, 07 Oktober 2012

Mamanda


Jika Jawa punya wayang, ludruk, ketoprak dan betawi punya kesenian lenong, Kalimantan punya Mamanda. Mamanda adalah seni teater atau pementasan tradisional yang berasal dari Kalimantan Selatan. 

Dibanding dengan seni pementasan yang lain, Mamanda lebih mirip dengan Lenong dari segi hubungan yang terjalin antara pemain dengan penonton. Interaksi ini membuat penonton menjadi aktif menyampaikan komentar-komentar lucu yang disinyalir dapat membuat suasana jadi lebih hidup.
Bedanya, Kesenian lenong kini lebih mengikuti zaman ketimbang Mamanda yang monoton pada alur cerita kerajaan. Sebab pada kesenian Mamanda tokoh-tokoh yang dimainkan adalah tokoh baku seperti Raja, Perdana Menteri, Mangkubumi, Wazir, Panglima Perang, Harapan Pertama, Harapan kedua, Khadam (Badut/ajudan), Permaisuri dan Sandut (Putri).
Tokoh-tokoh ini wajib ada dalam setiap Pementasan. Agar tidak ketinggalan, tokoh-tokoh Mamanda sering pula ditambah dengan tokoh-tokoh lain seperti Raja dari Negeri Seberang, Perompak, Jin, Kompeni dan tokoh-tokoh tambahan lain guna memperkaya cerita.
Disinyalir istilah Mamanda digunakan karena di dalam lakonnya, para pemain seperti Wazir, Menteri, dan Mangkubumi dipanggil dengan sebutan pamanda atau mamandaoleh Sang Raja. Mamanda secara etimologis terdiri dari kata “mama” (mamarina) yang berarti paman dalam bahasa Banjar dan “nda” yang berarti terhormat. Jadi mamanda berarti paman yang terhormat. Yaitu “sapaan” kepada paman yang dihormati dalam sistem kekerabatan atau kekeluargaan.
Seni drama tradisional Mamanda ini sangat populer di kalangan masyarakat kalimantan pada umumnya. Bahkan, beberapa waktu silam seni lakon Mamanda rutin menghiasi layar kaca sebelum hadirnya saluran televisi swasta yang turut menyaingi acara televisi lokal. Tak heran kesenian ini sudah mulai jarang dipentaskan.
Dialog Mamanda lebih kepada improvisasi pemainnya. Sehingga spontanitas yang terjadi lebih segar tanpa ada naskah yang mengikat. Namun, alur cerita Mamanda masih tetap dikedepankan. Disini Mamanda dapat dimainkan dengan naskah yang utuh atau inti ceritanya saja.

Sekarang ini Mamanda mulai terpinggirkan oleh kesenian modern. Bahkan mungkin, hanya sedikit generasi muda yang tahu kesenian ini. Jika kesenian asli daerah seperti Mamanda tak lagi mendapat perhatian generasi muda, jangan heran nantinya benar-benar punah.
Modernisasi harusnya bukan memetikan kreatifitas kesenian ini. Jika ketoprak humor, wayang kulit tiga demensi, opera van java bisa meramu kesenian tradisional tetap mampu eksis dan diterima setiap generasi. Mamanda harus mulai berbenah diri, mengikuti perkembangan jaman. Tak harus meninggalkan pesan yang ingin disampaikan, namun inovasi ramuan penampilan harus mulai diracik agar tetap menjadi tontonan sekaligus tuntunan menghibur.


Tidak ada komentar:
Write komentar