Zafry Zamzam adalah seorang tokoh wartawan dan politik kelahiran Simpur, Kandangan tahun 1917. Pendidikan terakhirnya di Kweek School Islam di Ponorogo. Ia pernah menjadi guru di Kalsel, Kaltim, dan Kalteng. Kegiatan dalam organisasi dan gerakan politik yang menonjol adalah dalam organisasi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) Cabang Alabio.
Selaku anggota PBI, Zafry Zamzam aktif mempropagandakan paham kebangsaan yang menjadi asas PBI kepada masyarakat. Zafry Zamzam menuangkan tulisannya di majalah yang ia pimpin yakni Majalah Bingkisan berisi kritikan terhadap Pemerintah Hindia Belanda. Karena kegiatan politiknya di PBI dan tulisan-tulisannya itulah, maka Zafry Zamzam pernah dipanggil Asisten Kiai di Alabio dan kemudian dipanggil Kontrolir di Amuntai untuk diminta pertanggungjawaban atas kegiatannya yang bersifat politik di PBI.
Tahun 1931, Zafry Zamzam aktif dalam Musyawaratutthalibin yakni organisasi kaum terpelajar yang menginginkan adanya permusyawaratan atau persatuan di kalangan umat Islam. Keinginan itu lahir karena meluasnya percekcokan dalam masyarakat, terutama menyangkut soal-soal agama. Terutama sekali menyangkut pertentangan antara Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang disebut juga pertentangan antara kaum tua dan kaum muda.
Saat di Kandangan, Zafry Zamzam dan kawan-kawan ikut serta mempelopori berdirinya cabang Partai Islam Indonesia (PII). Sebagaimana diketahui PPI b berdiri di Jawa pada tahun 1938, dan masuk ke Kalimantan Selatan pada tahun 1939. Di Kandangan, pembentukan cabang PII disahkan berdirinya oleh Pengurus Besar PII Wali Al Fatah yang langsung datang dari Jakarta.
Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Zafry Zamzam memasuki organisasi Serikat Kerakyatan Indonesia (1946) yang diketuai dengan Ketuanya D.S. Diapari, Wakil Ketua I A.A. Rivai, Wakil Ketua II Aidan Sinaga. Partai SKI merupakan partai legal pro unitarisme yang berjuang lewat jalur parlementer yakni Dewan Banjar. Tahun 1948, Zafry Zamzam terpilih menjadi anggota Dewan Banjar dan aktif menggerakkan dewan tersebut untuk kepentingan perjuangan kemerdekaan.
Sebagai anggota Dewan Banjar, Zafry Zamzam punya pendirian tegas. Ia menolak usulan pembubaran Dewan Banjar yang disuarakan petinggi ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan. Zafry Zamzam menyatakan tidak setuju dengan usul pembubaran Dewan tersebut, dengan alasan tanpa Dewan Banjar di daerah ini tidak akan ada pengakuan pemerintahan sendiri yang sah dari Belanda. Apabila Dewan Banjar dibubarkan, maka Belanda dapat bertindak dengan bebas di daerah ini.
Karena itu menurut Zafry Zamzam dari pada dibubarkan lebih baik Dewan Banjar memastikan diri sebagai Dewan Perwakilan Rakyat Pemerintahan ALRI Divisi IV Kalimantan, dan ALRI Divisi IV supaya merebut kantor-kantor pemerintahan Belanda.
Selain berjuang di bidang politik, Zafry Zamzam juga menggunakan media massa sebagai sarana perjuangan. Pada tahun 1946, Zafry Zamzam menerbitkan majalah Republik di Kandangan. Majalah ini secara sengaja melakukan penerbitan pertamanya bertepatan dengan hari ulang tahun yang pertama RI 17 Agustus 1946. Nomor perdana seolah-olah mengingatkan masyarakat akan Proklamasi Kemerdekaan yang telah berkumandang setahun yang lalu. Karena itu nomor itu memuat kembali secara lengkap teks Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 beserta dengan susunan kabinet RI yang pertama.
Majalah ini seringkali secara berani memuat tulisan-tulisan berupa artikel yang menyerang tokoh-tokoh yang memihak Belanda, seperti yang ditulis oleh Isah (nama samaran Zafry Zamzam) yang menyerang K.H. Abdurrahman Sidik tokoh partai Serikat Rakyat Islam (SRI) yang sebelumnya adalah seorang Republiken yakni sebagai pimpinan Partai Serikat Muslim Indonesia (SERMI), akan tetapi kemudian memihak penjajah. Sementara Pemimpin Redaksi Majalah Republik ini dikenal sebagai tokoh Partai Serikat Kerakyatan Indonesia (SKI),sebuah partai Republiken yang menentang ide federalisme. Karena aktivitasnya itulah, maka ia bersama rekan-rekannya berulang kali ditangkap Belanda.
Majalah ini mampu bertahan terbit selama lebih dari dua tahun, meski isi pemberitaannya seringkali menentang federalisme dan pembentukan Negara Kalimantan. Baru kemudian di bulan Desember 1948 Zafry Zamzam ditangkap tentara Belanda, sebagai bagian dari Agresi Militer Belanda II tanggal 19 Desember 1948. Penangkapan terhadap Zafry Zamzam berakibat Majalah Republik berakhir, karena tidak adanya lagi tenaga penggerak lainnya yang berani menanggung risiko.
Selepas keluar dari penjara, maka pada tahun 1949-1950 Zafry Zamzam bersama-sama Yusni Antemas bergabung/memimpin dewan redaksi Kalimantan Berdjuang di Banjarmasin. Pada penerbitan Kalimantan Berdjuang edisi Djumat, 11 Nopember 1949 tertulis bahwa Ketua Umum: Haspan Hadna, Ketua Redaksi: Zafry Zamzam, Tata Usaha: A. Djabar. Alamat redaksi: Kertak Baru 133 Banjarmasin Telepon No. 131. Zafry Zamzam menduduki jabatan Pemimpin Redaksi yang ditinggalkan Adonis Samat, karena yang bersangkutan bergabung dalam barisan perjuangan bersenjata.
Setelah pengakuan kedaulatan, Zafry Zamzam aktif dalam dunia pendidikan. Mengutip sumber Wikipedia, Zafry Zamzam adalah Rektor pertama IAIN Antasari di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Sebelum menjadi Rektor IAIN Antasari, beliau memimpin Fakultas Publisistik UNISAN (Universitas Islam Antasari).
Dibawah kepemimpinan beliau pula maka IAIN Antasari mendirikan Fakultas Tarbiyah. Selain menulis banyak artikel di surat kabar masa perjuangan, Zafry Zamzam sempat menulis dan menerbitkan 3 buah buku, yaitu: (1) Da’wah dinijah dan da’wah pantjasila; (permasalahan da’wah dan ilmu da’wah dalam rangka pembinaan bangsa Indonesia), 1963; (2) Kedudukan hukum sjariat dalam pembinaan karakter dan bangsa Indonesia, 1964; (3) Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary sebagai ulama juru da’wah : dalam sejarah penyiaran Islam di Kalimantan abad 13 H/18 M dan pengaruhnya di Asia Tenggara, 1974.
Tidak ada komentar:
Write komentar